Soekarno



SOEKARNO


oleh : Wahyu Aji

Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

Buah pemikiran Soekarno

Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Untuk masa sekarang, ideologi ini telah berkembang dan dikenal dengan nama Marhaenisme KekinianIdeologi ini dikembangkan dari pemikiran presiden pertama IndonesiaSoekarno. Ajaran ini awalnya bermaksud mengangkat kehidupan rakyat/orang kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa.
Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1920-an. Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertaniancangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.
Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi Bung Karno.
Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumahtangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.
Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun.Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.
Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumberdaya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.


Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkanGerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).

"SEPAK TERJANG BUNG KARNO"

Pidato Soekarno di PBB
Hari ini, Soekarno menyampaikan pidato politiknya yang klasik di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di Lake Succes, New York. Dalam pidato selama sekira 45 menit yang dipenuhi gemuruh aplaus dan tempik sorak itu, Soekarno membacakan teks pidato yang ia juduli: To Build the World A New. Hubungan antara Indonesia dengan PBB, diwarnai priode pasang surut, mengikuti langgam politik Soekarno.
Dengan mengenakan seragam putih-putih, kopiah hitam, dan kacamata baca bertangkai hitam, Soekarno memulai pidatonya dengan sebuah narasi yang tak tercantum di dalam teks pidato yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari: “Berbicara di hadapan Anda semua, hati saya bergetar.”
Tetapi beberapa menit kemudian, retorika Soekarno ganti membikin seisi gedung PBB bergetar oleh sejumlah aplaus dan tepuk tangan. Dukungan berasal dari negara-negara dunia ketiga, yang menyambut dengan hangat setiap pernyataan Soekarno yang dianggap relevan mewakili sikap dan pandangan mereka terhadap lembaga PBB itu.
Soekarno memang memanfaatkan jatah pidatonya untuk mengkritik kegagalan PBB sebagai lembaga dunia dalam mengakomodasi kepentingan semua anggotanya tanpa pandang bulu.
Dengan nada tinggi, Seokarno mengguntur: “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation.”
Bagi Soekarno, misi membangun Dunia Baru tak mungkin dipikulkan pada PBB, jika PBB sama sekali enggan memperbaiki diri dari sejumlah kekeliruannya. Kala PBB didirikan belum banyak bangsa di Asia yang merdeka. Kini, kata Soekarno, dunia sudah berubah dengan munculnya the new emerging forces—kekuatan baru dunia ketiga. Karena itu, struktur PBB perlu dirombak. Markas PBB juga mesti dipindahkan dari New York ke negara yang tak terpengaruh dua blok AS dan Uni Soviet yang tengah melancarkan perang dingin. Hak veto pada segelintir anggota elit PBB, yang hingga kini masih terus dipersoalkan, juga dituntut Soekarno untuk dicabut demi keadilan dan persamaan.
PBB mesti memperbaiki dirinya secara radikal. Badan ini , kata Soekarno lagi, “hanya dapat menjadi efektif bila mengikuti jalannya sejarah dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya sejarah.”
Dan bagi Soekarno, sejarah sedang bergerak ke arah yang tidak menguntungkan bagi neokolonialisme dan neoimperialisme. Mengikuti laju sejarah, dengan demikian, sama dengan mendorong laju sejarah itu lewat upaya melawan dan menentang neokolonialisme dan neoimperialisme secara sungguh-sungguh.
Dan Soekarno konsisten benar dengan apa yang ia yakini. Empat tahun kemudian, ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Soekarno meradang. Bagi Soekarno, Malaysia adalah penjelmaan langsung dari neokolonialisme, dalam hal ini Britania Raya. Soekarno mengambil langkah politik dramatis: Indonesia keluar sebagai anggota PBB pada 7 Januari 1965! tanggal 7 januari 1965, INDONESIA keluar dr PBB penyebabnya adalah gerakan politik PBB yang dianggap tidak adil oleh soekarno. dalam pidatonya di sidang PBB soekarno mengatakan "i hate Imperialisme". terdengar sorak sorai tepuk tangan gemuruh para perwakilan diplomatik di ruangan itu (dapat dilihat di video Arsip Nasional ).
Gema usulan Soekarno pada pidato saat itu, masih dapat ditelusuri jejaknya dalam perdebatan-perdebatan di PBB saat ini. Upaya untuk melakukan perubahan fungsi kelembagaan serta isu pembentukan tatanan dunia baru paska perang dingin, merupakan poin yang kini menjadi agenda utama lembaga dunia ini.


Kronologi jatuhnya Soekarno

Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi "mandat" kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.

Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara," dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Tanggal 11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: "Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas."
16 Maret 1966
Pangkopkamtib ---atas nama Presiden RI--- mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir ke-2), "ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS."
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain: "Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: - Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. - Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966."
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: "Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:
  1. G.30.S ada satu "complete overrompeling" bagi saya.
  2. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB"
  3. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi'radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
    "Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok""(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata".
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain (poin ke-4): "Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya..."
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin II), "Bahwa Presiden alpamemenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: "Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang "cabang". Pidato saya yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam "progress-report sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu". Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja..." dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut: "Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya."
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./'67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila." Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.

Meninggalnya Soekarno

Tanpa sebab yang jelas sang Proklamator ditahan di Wisma Yaso oleh Soeharto.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,
“ Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut,
“ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad “
( Kompas 13 Januari 2008 )






















oleh : Wahyu Aji

Posting Komentar

0 Komentar